07 Juni 2008

UANG DIGITAL, DARI PONSEL DAN KARTU RFID

Pada dasarnya uang digital bukanlah pulsa meski transaksi bisa menggunakan telepon seluler, dan juga bukan kartu kredit meski bisa membayar pas. Secara maya, uang itu bisa digunakan untuk membeli barang, termasuk membeli pulsa dan membeli uang kontan.

Meski bukan yang pertama, uang digital masih fenomenal bagi negeri ini. Sementara itu, di Jepang atau di negara maju lain, atau bahkan negara seperti Filipina dan Afrika Selatan, penggunaan uang digital sudah menjadi hal yang biasa.

Dengan uang digital, orang bisa membayar tarif tol secara otomatis. Orang juga bisa berbelanja tanpa mengeluarkan uang atau kartu kredit. Semua dibayar pas dan tidak perlu takut mendapatkan pengembalian berupa uang receh atau bahkan permen.

Meski demikian, tidak mudah bagi PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) untuk merintis penggunaan uang maya ini. Sebab, selain harus melakukan sosialisasi dan membangun sarana pendukungnya, perangkat hukum mengenai hal itu juga tidak kunjung disetujui wakil rakyat.

Di Jepang berkembang karena di sana semuanya memang sudah serba elektronik, sedangkan di negara seperti Afrika Selatan lebih karena alasan keamanan, tidak perlu membawa uang ke mana-mana, kata Kiskenda Suriahardja, Direktur Utama Telkomsel, dalam percakapan dengan wartawan beberapa waktu lalu.

Pihak operator seluler ini sudah melakukan kick-off layanan baru yang mereka sebut T-Cash atau Telkomsel Cash bulan lalu. Dalam rintisan ini Telkomsel bertindak sebagai integrator, sekaligus penyedia layanan yang didukung Bank Indonesia (regulator), bank-bank sebagai penyimpan dana, dan penjual barang maupun jasa yang saat ini sudah bisa melayani adalah Indomaret dan Modern Foto.

Layanan T-Cash ini selanjutnya akan diperluas ke bidang usaha seperti supermarket, pusat perbelanjaan, angkutan umum, vending machine (mesin penjaja), rumah sakit, toko buku, restoran, dan pompa bensin.

Dompet digital

Pada prinsipnya ada dua cara yang kami kembangkan, yaitu dengan menggunakan kartu dan aplikasi melalui telepon seluler, meskipun fokus pengembangan kami sekarang ini adalah aplikasi dengan ponsel, kata Bambang Supriogo, VP Mobile Commerce PT Telkomsel, dalam percakapan dengan Kompas, Rabu (19/12) di Jakarta.

Bambang menilai penggunaan telepon seluler saat ini lebih siap. Dengan aplikasi ini, ponsel bisa berfungsi sebagai penyimpan uang digital (mobile wallet), yaitu dengan mengombinasikan aplikasi layanan pesan singkat (SMS) dan unstructured supplementary service data (USSD), seperti halnya ketika mengecek saldo.

Sistem online ini merupakan evolusi dari layanan mobile banking. Pada layanan m-banking ini, ponsel bisa digunakan untuk melakukan berbagai transaksi perbankan sejak tahun 2000, mulai dari hanya satu bank dan sekarang sudah berkembang menjadi 35 bank.

Adapun sistem offline menggunakan cip radio frequency identification device atau RFID, baik dalam bentuk kartu maupun hanya berbentuk stiker. Stiker bisa ditempelkan pada bagian dalam penutup baterai sehingga ponsel bisa digunakan secara online maupun offline, kata Suryo Hadiyanto, Manager Corporate Communications PT Telkomsel.

Untuk penggunaan kartu, saat ini belum ada terminal pembaca yang memiliki spesifikasi teknis yang mampu memberikan kenyamanan bagi pelanggan, ujar Bambang. Artinya, jika banyak perusahaan mengeluarkan kartu, pengguna dikhawatirkan akan membawa banyak kartu sehingga dompet menjadi lebih tebal.

Selain itu, sekarang ini setiap kartu yang dikeluarkan sebuah perusahaan masing-masing memerlukan perangkat pembaca sendiri-sendiri, sekalipun saat ini pihak BI sedang mengusahakan agar satu perangkat pembaca bisa membaca berbagai kartu.

Kelebihan RFID terutama adalah untuk aplikasi pada jenis transaksi cepat, seperti pembayaran untuk jalan tol yang otomatis, pembayaran parkir, dan layanan cepat saji yang ramai.

Di kawasan Asia saja, seperti Hongkong, sudah digunakan Octopus Card sejak 1997 yang menggunakan teknologi RFID. Semula, layanan ini hanya digunakan untuk membayar pada angkutan massal, kemudian berkembang menjadi alat untuk membeli barang pada mesin penjaja, restoran cepat saji, dan pasar swalayan.

Di Singapura digunakan RFID pasif yang dikenal dengan nama kartu EZ-link. Layanan ini digunakan untuk membayar tarif transportasi bus dan kereta api, sedangkan untuk tol digunakan CashCard (RFID aktif). Malaysia juga melakukan hal yang sama untuk kereta api dan bahkan negeri jiran ini mengaplikasikan RFID untuk paspor warga negaranya.

Demikian pula kota seperti Seoul, Korea Selatan, sudah menggunakan kartu T-money untuk pembayaran transportasi umum sejak 1996. Jepang menggunakan super urban intelligent card (SUICa) untuk pembayaran transportasi kereta api.

RFID meluas

Secara umum, kartu RFID ada tiga jenis, berupa RFID pasif, semipasif, dan aktif. Disebut pasif karena tidak membutuhkan sumber tenaga secara khusus, menjadi aktif ketika pembaca RFID berada dekat dan memberikan tenaga listrik, sedangkan semipasif dan aktif memiliki sumber daya khusus, biasanya berupa baterai kecil.

Untuk penggunaan yang lama, seperti kartu pengenal, kartu absensi, dan pengaman barang lebih disukai jenis pasif. Sekalipun tidak memiliki baterai di dalam, arus listrik akan timbul manakala kartu didekatkan dengan pembaca RFID.

Pembaca RFID mengeluarkan sinyal gelombang radio yang menginduksi antena pada kartu RFID. Arus akibat induksi ini cukup untuk menghidupkan rangkaian terintegrasi (IC) jenis CMOS sehingga memberikan respons berupa pancaran gelombang radio.

Ini berarti antena dirancang baik untuk bisa mengumpulkan energi listrik maupun untuk mentransmisikan gelombang radio. Respons berupa nomor identifikasi yang tersimpan dalam cip umumnya cip yang bisa ditulisi EEPROM untuk menyimpan data.

Kesederhanaan jenis RFID pasif adalah rancangannya sehingga proses pembuatannya bisa melalui proses printing, termasuk bagian antena. Karena tidak ada baterai di dalamnya, bentuknya juga bisa dibuat menjadi sangat kecil sehingga bisa ditanam dalam kertas, stiker, atau bahkan di bawah kulit makhluk hidup (termasuk manusia).

Hitachi, sebuah perusahaan Jepang, pada Februari 2007 memperkenalkan RFID terkecil yang berukuran hanya 0,05 mm x 0,05 mm (tanpa antena). Hitachi u-chip ini mampu mentransmisikan nomor ID unik 128 bit. Prestasi ini merupakan perbaikan RFID pasif sebesar 0,15 mm x 0,15 mm setebal 7,5 mikrometer setahun sebelumnya.

Kelemahan dari semua jenis RFID terutama adalah pada antena yang bentuknya sekitar 80 kali lebih besar dari cipnya sendiri. Padahal, antena (dan pilihan frekuensi) menentukan seberapa jauh RFID bisa memancarkan frekuensi radio, biasanya paling jauh hanya 10 cm, selain ada juga yang bisa sampai beberapa meter.

Sedangkan untuk RFID aktif bisa sampai 500 meter sehingga banyak digunakan untuk pembayaran tol secara otomatis tanpa harus membuka kaca jendela.

Terkait dengan penggunaan frekuensi radio, penerapan RFID juga tidak lepas dari aturan itu. Hanya pada frekuensi rendah (LF) 123-134,2 kHz dan 140-148,5 kHz, maupun frekuensi tinggi (13,56 MHz), RFID bisa digunakan secara bebas tanpa perlu lisensi atau izin. Adapun pada frekuensi ultratinggi (UHF), dari 868 MHz sampai 928 MHz, tidak bisa digunakan secara global karena tidak ada standar tunggal global pada rentang frekuensi itu. (Kompas, 21/12/2007, AW Subarkah)
sUMBER : http://www.indomaret.co.id/idm/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=61

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda